Rabu, 30 Januari 2013

BAGAIMANA MENYATUKAN UMMAT ISLAM


Bismillah,
Bersatunya kaum muslimin didalam satu kepemimpinan adalah perkara mulia yang selalu dicita-citakan dan diidam-idamkan oleh setiap muslim yang beriman kepada Alloh dan Rosul-Nya. Pasalnya persatuan kaum muslimin adalah Rahmat Alloh kepada mereka sedangkan perpecahan adalah adzab Alloh kepada mereka, sebagaimana disabdakan oleh Rosululloh saw :

 اَلْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَ اْلفُرْقَةُ عَذَابٌ
"Jama’ah itu rahmat dan firqoh itu adzab.”

(HR.Ahmad dari Nu’man bin Basyir, Musnad Ahmad:IV/278, Silsilah Shohihah 2/272)

Alloh swt melarang perpecahan dan memerintahkan Ummat Islam agar bersatu didalam Din (Agama)-Nya QS. Ali Imran (3) :103. Perintah bersatu (berjamaah) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw telah dipraktekan dalam wujud kepemimpinan yang satu yakni kepemimpinan Nubuwwah (Ummat Islam dipimpin langsung oleh Nabi saw) dan dilanjutkan / digantikan oleh kepemimpinan Khilafah (Ummat Islam dipimpin oleh seorang Khalifah).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ اْلأَوَّلِ فَاْلأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ

“Dahulu Bani Israil senantiasa dipimpin oleh para Nabi, setiap wafat seorang Nabi diganti oleh Nabi lainnya dan sesudahku ini tidak ada lagi seorang Nabi dan akan terangkat beberapa khalifah bahkan akan bertambah banyak. Sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami? Beliau bersabda: ”Tepatilah bai’atmu pada yang pertama, maka untuk yang pertama dan berilah kepada mereka haknya, maka sesungguhnya Allah akan menanyakan apa yang dipimpinya (rakyatnya).” (HR.Al-Bukhari dari Abu Hurairah, Shahih Al Bukhari dalam Kitab Bad’ul Khalqi: IV/206  no. 3196; Muslim, Shahîh Muslim, no. 3429; Ahmad, Musnad Ahmad, no. 7619.)

Sejak runtuhnya kekhilafahan Islam di Turki (khilafah Ustmaniah) 86 tahun yang silam (1924 M) ummat Islam berada dalam keadaan dimana mereka tidak berada dalam satu kepemimpinan. Masing-masing mereka lantas hidup dalam kehinaan, sementara para musuh menggerogoti dari berbagai penjuru Sampai akhirnya orang-orang Yahudi berhasil menanamkan pola fikir bernegara, nasionalisme dan kebangsaan untuk mengkotak-kotakkan ummat Islam agar mudah dikuasai.
Pandangan Khilafah Islamiya sebagai sebuah Negara (Ad-daulah Al Islamiyah) pun timbul akibat sekian lama ummat Islam  terbiasa hidup tanpa  seorang Kholifah / Amirul Mukminin.

Jika kita telusuri secara literal tidak ada satupun ayat Al Qur’an atau hadist yang menyebut kata  Ad-daulah.(akar kata; dala – yadulu – daulah = bergilir, beredar, dan berputar). Kata ini dapat diartikan kelompok sosial yang menetap pada suatu wilayah tertentu dan terorganisir oleh suatu pemerintahan yang mengatur kepentingan dan kemashlahatan.

Menurut sejarah, istilah Daulah pertama kali digunakan dalam politik Islam ketika kekhalifahan dinasti ‘Abbasiyyah meraih tampuk kekuasaan pada pertengahan abad ke delapan. Pada masa tersebut, kata daulat diartikan dengan kemenangan, giliran untuk meneruskan kekuasaan dan dinasti. Atau jika sebelum masa ‘Abbasiyyah pernah ada daulah Umayyah atau “giliran keluarga Umayyah” maka selanjutnya adalah “giliran keluarga Bani Abbas” (daulah Abbasiyah).

Adanya sudut pandang inilah yang menyebabkan mengapa Ummat Islam sulit menyepakati Bagaimana memulai pelaksanaan Khilafah Islamiyah yang dikhabarkan akan muncul diakhir jaman sebagai Khilafah Ala Minhajin Nubuwwah. (lihat latar belakang dimaklumatkanya Khilafatul Muslimin)

Sahabat generasi awal islam (assabiqunal awwalun) telah bersepakat dan memberi contoh bagaimana  memulai sebuah kekhalifahan Islam yakni dengan mengankat terlebih dahulu seorang khalifah (pemimpin) untuk mereka taati dan menunda semua urusan yang lain termasuk perkara yang sangat urgent seperti menguburkan Jenazah/Mayyit. Inilah yang Rosululloh saw perintahkan yakni meneladani sunnah nabi (minhaj nubuwwah) dan Khilafah Rasydah Al Mahdiyyin.
أُوصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ فَتَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Aku wasiyatkan kepada kalian hendaklah selalu bertakwa kepada Allah, mendengar dan mentaati (pemimpin) sekalipun ia seorang budak habsyi, karena sungguh siapapun dari kalian yang berumur panjang sesudahku akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu kalian wajib berpegang kepada jalan/jejak langkahku dan jalan/jejak langkah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah itu erat-erat dengan gigi geraham. Dan jauhilah perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan. (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibn Majah dan Tirmidzi )

Khilafah adalah Al Jamaah selainya merupakan Firqoh

Dari Khudzaifah bin Yaman Radliallahu ‘anhu berkata:
 كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ وَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ قَالَ نَعَمْ وَفِيهِ دَخَنٌ قُلْتُ وَمَا دَخَنُهُ قَالَ قَوْمٌ يَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِي تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ قُلْتُ فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوْهُ فِيهَا قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا قَالَ هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ قَالَ تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ .

“Adalah orang-orang (para sahabat) bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang kebaikan dan adalah saya bertanya kepada Rasulullah tentang kejahatan, khawatir kejahatan itu menimpa diriku, maka saya bertanya: “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu berada di dalam Jahiliyah dan kejahatan, maka Allah mendatangkan kepada kami dengan kebaikan ini (Islam). Apakah sesudah kebaikan ini timbul kejahatan? Rasulullah menjawab: “Benar!” Saya bertanya: Apakah sesudah kejahatan itu datang kebaikan? Rasulullah menjawab: “Benar, tetapi di dalamnya ada kekeruhan (dakhon).” Saya bertanya: “Apakah kekeruhannya itu?” Rasulullah menjawab: “Yaitu orang-orang yang mengambil petunjuk bukan dengan petunjukku. (dalam riwayat Muslim) “Kaum yang berperilaku bukan dari Sunnahku dan orang-orang yang mengambil petunjuk bukan dengan petunjukku, engkau ketahui dari mereka itu dan engkau ingkari.” Aku bertanya: “Apakah sesudah kebaikan itu akan ada lagi keburukan?” Rasulullah menjawab: “Ya, yaitu adanya penyeru-penyeru yang mengajak ke pintu-pintu Jahannam. Barangsiapa mengikuti ajakan mereka, maka mereka melemparkannya ke dalam Jahannam itu.” Aku bertanya: “Ya Rasulullah, tunjukkanlah sifat-sifat mereka itu kepada kami.” Rasululah menjawab: “Mereka itu dari kulit-kulit kita dan berbicara menurut lidah-lidah (bahasa) kita.” Aku bertanya: “Apakah yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menjumpai keadaan yang demikian?” Rasulullah bersabda: “Tetaplah engkau pada Jama’ah Muslimin dan Imaam mereka!” Aku bertanya: “Jika tidak ada bagi mereka Jama'ah dan Imaam?” Rasulullah bersabda: “Hendaklah engkau keluar menjauhi firqoh-firqoh itu semuanya, walaupun engkau sam pai menggigit akar kayu hingga kematian menjumpaimu, engkau tetap demikian.” (HR.Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari dalam Kitabul Fitan: IX/65, Muslim, Shahih Muslim: II/134-135 dan Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah:II/475. Lafadz Al-Bukhari).

Jika kita periksa hadist Imam Bukhari diatas dimasa terjadinya Dakkhan / ketidakjelasan / samar-samar  Rosululloh saw telah memerintahkan sahabat untuk senantiasa bersatu dalam Jamaah Muslimin dan Imamnya. Yang substansinya adalah Khilafah Islamiyah dan Khalifahnya / Amirul Mukmininnya.  Hal ini telah  dipraktekan oleh  sahabat rodiallohuajmain  sepeninggal  Nabi saw  yakni  dengan bersatu  didalam KHILAFAH RASYDAH  dengan khalifahnya yg  kita kenal yaitu Abu bakar Ash-Shidiq, dilanjutkan Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Ali Bin abi Thalib (khilafah ala minhaj nubuwwah)

Sudut pandang ini dikuatkan  oleh Imam Thabrani dalam Syarah Hadist Bukhari diatas, Beliau berkata, “ Fa in ro aita khaliifatan fal zamhu, wa in dhuridho  dzohruha fa’illam yakum kholifatan fal hasbu”  yang artinya; apabila kamu melihat kekhalifahan sudah dimaklumatkan maka segera bergabung, walau kamu harus dipukul . dan apabila kamu tidak melihatnya maka tinggalkan semua golongan-golongan yang ada (Lihat Syarah Bukhori/Fathul Baari Juz ke 13 hal.36)

Dalam syarah yang sama Imam Baydhowi berkata " al ma’na idzaa lam yakun fil ardhi Kholifah fa’alaika bil’uzlah washobri ‘ala tahammul syidati zaman”  adapun makna  jika dimuka bumi ini tidak ada kholifah maka wajib bagimu menyingkir dan bersabar untuk menanggung kerasnya/kondisi jaman itu (Fathul Baari 13:36)
Dengan demikian jelaslah bahwa sesungguhnya Khilafah Islamiyah merupakan sebuah al Jamaah dan selainya adalah Firqoh.    Al Jamaah ini diberi nama Khilafatul Muslimin sebab  kata Khilafah telah disandarkan pada kata Al Muslimin (dalam hadist diatas) sehingga dibaca "Khilafatul Muslimin" sebagai pelopor  Khilafah ala minhajin nubuwwah  di akhir zaman.

Dimulai dari adanya seseorang kholifah yang kemudian dimaklumatkan Khilafah Islamiyah kepada seluruh manusia sebagai sebuah rahmat Alloh sebagaimana cara  Nabi saw memaklumatkan kepemimpinanya semenjak  belum diberi  kekuasaan apa pun oleh Alloh swt (periksa QS. Al Anbiya /21:107) hingga tegaknya Din/Agama yang telah diridhoi-Nya  yakni Din Islam (periksa QS. An-Nur/24:55).

Allohu’alam bishowab.

Walhamdulillah.

Bagaimana Itiba’ Kepada Rasulullah saw

Firman Allah Ta’ala :

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku.” (QS. Ali Imran: 31)

Yang dimaksud Ittiba’ adalah mengikuti perkataan, perbuatan dan pengakuan Nabi saw dalam urusan penegakkan Ad-Din, inilah yang dimaksud dengan mengikuti jejak beliau (minhaj nubuwwah). Adapun mengikuti jejak fisik Beliau yang tidak merupakan bagian dari Ad-Din seperti tempat kencing, tidur dan berjalan beliau, maka tidak diperbolehkan mencari-cari hal itu karena hal itu merupakan sarana menuju kesyirikan.

Ibnu Rajab, dalam Fathul Bari / Syarh Shahih al Bukhari, menyebutkan bahwa kecintaan bisa sempurna dengan ketaatan. Firman Allah Ta’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (QS. An-Nisaa : 59)

Perintah untuk menaati uli al-amr dalam ayat ini adalah menaati seorang pemimpin Muslim yang menaati seluruh perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya, yakni pemimpin yang menerapkan seluruh hukum syariah dalam pemerintahannya. Itu tak lain adalah khalifah, dengan sistem Khilafahnya. Jika khalifah dengan sistem Khilafahnya itu tidak ada, maka wajib diadakan. Pasalya, tidak mungkin perintah untuk menaatinya itu bisa dilakukan jika orang yang seharusnya ditaati itu tidak ada. Dengan kata lain, perintah untuk menaati uli al-amri (khalifah dengan sistem Khilafahnya) itu sekaligus meniscayakan adanya orang dan sistemnya. Jika tidak ada maka wajib diadakan sehingga ketaatan kepadanya bisa dilaksanakan. Inilah dalâlah iltizâm atau mafhûm muwâfaqah dari nash di atas.

Salahsatu cara dalam rangka Ittiba’ adalah mengikuti kesepakatan para sahabat ketika tidak ditemukan sunnah Rosululloh saw. Adapun ketika terdapat nash dari al’quran dan al hadist maka nash tersebut haruslah didahulukan dari pada pendapat siapapun.
Firman Allah ta’ala :

… kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisaa : 59)

Ittiba’ dalam hidup berjamaah adalah dengan mematuhi wasiat Rosululloh saw untuk berpegang kepada sunnahnya dan sunnah khulafaur rasydin yakni berupaya menggigitnya dengan geraham dan memegang dengan erat sebagai pelaksanaan perintah beliau SAW.

عَنْ أَبِي نَجِيْحٍ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَاريةَ رَضي الله عنه قَالَ : وَعَظَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ الله عليه وسلم مَوْعِظَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ، وَذَرِفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ، فَقُلْنَا : يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ، فَأَوْصِنَا، قَالَ : أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كًثِيْراً. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

[رَوَاه داود والترمذي وقال : حديث حسن صحيح]

Dari Abu Najih Al Irbadh bin Sariah radhiallahuanhu dia berkata : Rasulullah shollAllahu ‘alaihi wa sallam memberikan kami nasehat yang membuat hati kami bergetar dan air mata kami bercucuran. Maka kami berkata : Ya Rasulullah, seakan-akan ini merupakan nasehat perpisahan, maka berilah kami wasiat. Rasulullah shollAllahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah ta’ala, tunduk dan patuh kepada pemimpin kalian meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Karena di antara kalian yang hidup (setelah ini) akan menyaksikan banyaknya perselisihan. Hendaklah kalian berpegang teguh terhadap ajaranku dan ajaran Khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah (genggamlah dengan kuat) dengan geraham. Hendaklah kalian menghindari perkara yang diada-adakan, karena semua perkara bid’ah adalah sesat “
(Riwayat Abu Daud dan Turmuzi, dia berkata : hasan shahih)


BAGAIMANA CARA MENCINTAI NABI SAW

Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam termasuk ushul iman (pokok keimanan) yang bergandengan dengan cinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Allah telah menyebutkannya dalam satu ayat dengan menyertakan ancaman bagi orang yang lebih mendahulukan kecintaan kepada kerabat, harta, negara serta lainnya daripada cinta kepada keduanya.

“Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik”.” (QS. Al Taubah: 24)

Keimanan seorang muslim tidak akan sempurna kecuali dengan mencintai utusan Allah kepada mereka, yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan, tidak sah imannya kecuali dengan lebih menghormati kedudukan beliau daripada ayahnya, anaknya, dan orang telah berbuat baik dan membantunya. Siapa yang tidak memiliki aqidah seperti ini, maka bukan seorang mukmin.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

“Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian, sampai aku lebih ia cintai daripada anaknya, orangtuanya, dan manusia seluruhnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Menurut Ibnu Bathuthal, makna hadits ini adalah orang yang sempurna imannya pasti tahu bahwa hak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lebih utama baginya daripada hak bapaknya, anaknya, dan seluruh manusia. Karena melalui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kita terselamatkan dari neraka dan diselamatkan dari kesesatan.”

Memang setiap orang berhak untuk mengklaim dirinya sebagai pencinta Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, namun klaim tersebut tidak akan bermanfaat jika tidak dibuktikan dengan ittiba’ (mengikuti jejak Nabi), taat dan berpegang teguh pada petunjuknya. diantara bentuk cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah dengan menolong sunnahnya, membela syariahnya, dan mencontoh metode perjuanganya . . .

Allahu’alam

KEWAJIBAN MENEGAKKAN AGAMA

بِسمِ اللَّهِ الرَّحمٰنِ الرَّحيمِ



شَرَعَ لَكُم مِنَ الدّينِ ما وَصّىٰ بِهِ نوحًا وَالَّذى أَوحَينا إِلَيكَ وَما وَصَّينا بِهِ إِبرٰهيمَ وَموسىٰ وَعيسىٰ ۖ أَن أَقيمُوا الدّينَ وَلا تَتَفَرَّقوا فيهِ ۚ كَبُرَ عَلَى المُشرِكينَ ما تَدعوهُم إِلَيهِ ۚ اللَّهُ يَجتَبى إِلَيهِ مَن يَشاءُ وَيَهدى إِلَيهِ مَن يُنيبُ 

Dia telah mensyariatkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama) -Nya orang yang kembali (kepada-Nya).  QS. Ash-shura : 13


Sesungguhnya Agama Islam (Dienul Islam) itu Satu dan wajib untuk ditegakkan, yang diwasiatkan sejak nabi Adam AS kepada setiap Nabi dan Rosul selanjutnya, mulai dari Nuh AS, Ibrahim AS, Musa AS dan Isa AS yakni Din yang merupakan pokok-pokok Aqidah dan Rukun Iman yang bersumber pada kitabulloh Azawajalla. 
Disebutkan didalam kitab Shahih Bukhori, dari Abu Hurairah RA, Bahwa Rosululloh SAW pernah bersabda :
 "Kami para Nabi adalah Saudara-saudara yang berlainan Ibu, tetapi Din (agama) kami satu"
Makna yang dimaksud adalah ajaran Tauhid yang diperintahkan Allah SWT  kepada semua Rosul yang diutus-Nya dan terkandung dalam semua kitab yang diturunkan-Nya, seperti yang disebutkan oleh Firman Allah Ta'ala :

 وَما أَرسَلنا مِن قَبلِكَ مِن رَسولٍ إِلّا نوحى إِلَيهِ أَنَّهُ لا إِلٰهَ إِلّا أَنا۠ فَاعبُدونِ

"Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: ""Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku" QS.Al-Anbiya (21) : 25 

وَلَقَد بَعَثنا فى كُلِّ أُمَّةٍ رَسولًا أَنِ اعبُدُوا اللَّهَ وَاجتَنِبُوا الطّٰغوتَ

dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ""Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu.. QS. An-Nahl (16) : 36  hingga akhir ayat

Adapun cabang-cabang Din atau Syareatnya yang berupa amalan setiap Nabi dan Rosul berbeda-beda sesuai dengan keadaan mereka pada waktu itu,  Sa'id Ibnu Abu Arubah telah meriwayatkan dari Qatadah sehubungan dengan Firman Allah Ta'ala : 
لِكُلٍّ جَعَلنا مِنكُم شِرعَةً وَمِنهاجًا ۚ
"Untuk tiap-tiap Ummat diantara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.". (QS. Al'maidah (5) : 48

Menurut suatu pendapat, orang yang diajak bicara oleh ayat ini adalah ummat ini, yakni Ummat Nabi Muhammad SAW, makna yang dimaksud ialah "untuk tiap-tiap orang dari kalian yang termaksud dalam ummat ini, kami jadikan Al'Quran sebagai tuntunanya". Dengan kata lain Al'Quran adalah buat kalian semuanya sebagai panutan kalian, Damir yang Mansub dalam firman-Nya  لِكُلٍّ جَعَلنا مِنكُم yaitu ja'alnahu yang artinya "kami jadikan Qur'an sebagai syareat dan tuntunanya untuk menuju ketujuan yang benar dan sebagai tuntunan, yakni jalan yang jelas lagi gamblang". Demikianlah menurut ringkasan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Mujahid. 


SYARIAT NABI DAHULU HANYA UNTUK JADI IBROH

Syari'at para nabi dan rasul sebelum Rasululloh Muhammad saw itu tidak boleh kita laksanakan kecuali syari'at itu diteruskan atau dibolehkan oleh Rasululloh saw. Karena kita hanya boleh merujuk kepada Rasululloh saw saja, bukan nabi sebelumnya.

Rasululloh bersabda :

"Syari'at sebelumku adalah bukan syari'atku"

Jadi kita tidak boleh melakukan bunuh diri dalam rangka untuk taubat seperti taubatnya ummat Nabi Musa. Atau kita tidak boleh menjadi raja dari golongan jin seperti yang dilakukan oleh Nabi Sulaiman. Atau kita tidak boleh bergabung dalam sistem kufur seperti halnya yang dilakukan Nabi Yusuf sebagai pengatur logistik di kerajaan Fir'aun. Karena itu semua tidak dilakukan kembali oleh Rasululloh Muhammad saw.

Rasululloh pernah menegur Umar bin Khattab yang kedapatan sedang membaca Taurat. "Andai saja saudaraku (Musa as.) masih ada, niscaya dia akan mengikutiku".

Begitu pula Nabi Isa as. yang diturunkan kembali di akhir jaman, adalah bukan untuk membawa risalah baru. Namun meluruskan risalah Rasululloh saw yang telah dilanggar oleh ummatnya. Ketika Nabi Isa as. turun di Damaskus setelah dibai'atnya Imam Mahdi menjadi khalifah, maka beliau melakukan shalat di masjid. Ketika itu, Nabi Isa as dipersilahkan menjadi imam shalat, namun beliau menolaknya. Dan setelah selesai shalat, beliau berdiri dibelakang Imam Mahdi berperang melawan Dajjal.

Kisah-kisah para Nabi dan Rasul terdahulu hanya sebagai ibroh saja bagi Rasulullah dan ummatnya. Bukan untuk diterapkan syari'atnya. Sebab tidak ada satu qarinahpun yang bersifat jazm (tegas) dan memperkuat dalil2 tersebut agar kita menerapkan syari'at nabi dan rasul terdahulu.

Dengan demikian kita hanya merujuk kepada Rasulullah Muhammad saw. saja. Allah swt. berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 21 :

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو ٱللَّهَ وَٱلْيَوْمَ ٱلآخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيراً

ArtinyaSesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.

Dalam ayat ini membuktikan bahwa hanya Rasulullah saw saja sebagai suri tauladan kita.

Dalam ayat yang lain :

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ 

Artinya :Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran ayat 31)

Ayat ini diawali dengan fi'il amr Qul, dan ditujukan kepada Rasulullah Muhammad saw, bukan kepada nabi dan Rasul sebelumnya. agar mengatakan kepada ummatnya untuk mengikuti (Ittiba) Rasulullah saw jika mereka mencintai Allah.


Wallahu'alam