Rabu, 11 Mei 2016

MENYIKAPI TAQDIR ALLAH MENGENAI PERPECAHAN



Terkadang manusia benar-benar bersikap tidak adil dalam menyikapi takdir dan ketetapan Allah Ta’ala, ia menimbang keimanan terhadap takdir yang ditetapkan terhadap dirinya sendiri berbeda jauh dengan takdir yang menimpa agama Islam dan nasib kaum muslimin.
Sebagai contoh dalam urusan kemiskinan dan penyakit yang dideritanya tidak sedikit pun manusia yang menyerah pada takdir yang menimpanya, segala daya upaya akan dikerahkan demi untuk menghilangkan rasa lapar atau rasa sakit tersebut,  ia akan bangkit berupaya mengatasi takdir itu meski harus banting tulang siang malam bekerja tanpa lelah. Atau berkorban seluruh harta bendanya demi mendapatkan kesembuhan atas penyakit yang dideritanya.
Sebaliknya untuk urusan takdir berpecah belahnya ummat islam menjadi beberapa golongan, meski termasuk perbuatan orang-orang musyrik (Dalil QS. Ar-Rum/30 : 31-32), tidak sedikit  orang yang tidak takut akan azab dan siksa akibat perpecahan itu (Dalil QS. Al An’am/6:65) malah terkadang manusia justru mencaci maki dan berburuk sangka pada mereka yang berupaya menjalankan dakwah mempersatukan ummat dalam satu kepemimpinan saja untuk seluruh dunia.

TAKDIR PERPECAHAN
Diantara dalil yang menjelaskan bawa umat Islam pada akhir zaman pasti berpecah-belah diantaranya adalah hadits Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Sesungguhnya bani Israil berpecah-belah menjadi tujuh puluh satu, dan sesungguhnya umat ini akan berpecah-belah menjadi tujuh puluh dua, semuanya di neraka kecuali satu, dan dia adalah jama’ah” [HR Ibnu Majah ; 3983] Dishahihkan Al-Albani Shahih Ibnu Majah 2/364.

Firman Allah Ta’ala :
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” Al-An’am [6] : 159

Ibnu Katsir berkata: “Pemeluk agama sebelumnya berselisih satu sama lain di dalam pola fikir. Masing-masing mengaku bahwa kelompoknya yang benar, umat in pun berselisih satu sama lain di dalam
menegakkan agama, semuanya tersesat kecuali satu yaitu Ahlus Sunnah wal jama’ah, yaitu mereka yang berpegang teguh dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah, dan generasi sahabat, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadroknya ketika Rasulullah ditanya tentang golongan yang selamat, maka Beliau menjawab: ‘Mereka adalah orang yang mengikuti Sunnahku pada hari ini dan sahabatku.’” (Tafsir Ibnu Katsir juz 5 hal 282).

SIKAP SEORANG MUKMIN TERHADAP TAKDIR
عَنْ عَلِىٍّ - رضى الله عنه - قَالَ كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - فِى جَنَازَةٍ فَأَخَذَ شَيْئًا فَجَعَلَ يَنْكُتُ بِهِ الأَرْضَ فَقَالَ « مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ وَقَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنَ النَّارِ وَمَقْعَدُهُ مِنَ الْجَنَّةِ » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ نَتَّكِلُ عَلَى كِتَابِنَا وَنَدَعُ الْعَمَلَ قَالَ « اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ ، أَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ ، وَأَمَّا مَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الشَّقَاءِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ » . ثُمَّ قَرَأَ ( فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى * وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى ) الآيَةَ .
 “Ali radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pernah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasalllam pada sebuah jenazah, lalu beliau berdiam sejenak, kemudian beliau menusuk-nusuk tanah, lalu bersabda:“Tidak ada seorangpun dari kalian melainkan telah dituliskan tempatnya dari neraka dan tempatnya dari surga”. Para shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, kenapa kita tidak bersandar atas takdir kita dan meninggalkan amal?”, beliau menajwab: “Beramallah kalian, karena setiap sesuatu dimudahkan atas apa yang telah diciptakan untuknya, siapa yang termasuk orang yang ditakdirkan bahagia, maka akan dimudahkan untuk mengamalkan amalan penghuni surga, adapun siapa yang ditakdirkan termasuk dari dari orang yang ditkadirkan sengsara, maka ia akan dimudahkan untuk mengamalkan amalan penghuni neraka”. Kemudian beliau membaca ayat:
{فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى (5) وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى (6) فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى (7)} [الليل: 5 - 7]
Artinya: “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa”. “Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga)”. “Maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah”. QS. Al Lail: 5-7.
 Imam Nawawi rahimahullah berkata:
“Di dalam hadits-hadits ini terdapat larangan untuk meninggalkan amal dan bersandar dengan apa yang telah ditakdirkan, akan tetapi wajib beramal dan mengerjakan beban yang disebutkan oleh syariat, dan setiap sesuatu dimudahkan untuk apa yang telah diciptakan untuknya, yang tidak ditakdirkan atas selainnya”. Lihat kitab Al Minhaj, Syarah Shahih Muslim., 16/196.

UMAT ISLAM PASTI BERPECAH-BELAH AKAN TETAPI WAJIB BERSATU
Manusia diciptakan kedunia ini tiada lain hanya untuk beribadah kepada Allah SWT, praktek beribadah itu seluruhnya sudah ada contoh dan tuntunanya oleh Nabi saw. Kewajiban bersatu yang Allah Ta’ala perintahkan pasti sudah pernah dilakukan dan dicontohkan Nabi saw dan para sahabat radiallahu’anhum ajmain. Nabi saw berpesan ;
“Sesungguhnya Allah meridhoi kamu tiga perkara dan membenci kamu tiga perkara ; Dia meridhoi kamu apabila kamu beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan sesuatu kepada-Nya, dan apabila kamu berpegang teguh kepada tali Allah semua dan kamu tidak berpecah-belah” [HR Muslim : 3236]
Firman Allah Ta’ala :
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara” [Ali-Imran/3 ; 103]
Ayat dan hadits diatas menunjukkan cara untuk menyatukan umat Islam, yaitu kita harus kembali kepada tali Allah, sedangkan makna tali Allah ialah Al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana dijelaskan di dalam hadits.
“Kitab Allah adalah tali Allah yang menjulur dari langit ke bumi” [Lihat Silsilah As-Shahihah 5/37]
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa As-Sunnah termasuk tali Allah, sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Aku tinggalkan kepadamu dua perkara, kamu tidak akan tersesat selamanya yaitu kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya’ [HR Imam Malik 1395 bersumber dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu dihasankan oleh Al-Albani di dalam kitabnya Manzilatus Sunnah fil Islam 1/18]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak hanya berpesan kepada umatnya agar berpegang kepada Sunnahnya saja, akan tetapi kepada Sunnah sahabat pula.
“Maka barangsiapa yang menjumpai itu (perpecahan umat) hendaknya dia berpegang kepada Sunnahku dan Sunnah para kholifah yang menunjukkan kepada kebaikan dan mendapat petunjuk, gigitlah Sunnah ini dengan gigi geraham” [HR Tirmidzi 2600 dan lainnya dishahihkan Al-Albani lihat Silsilah As-Shahihah 6/610]
Dari Abu Burdah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Dan sahabatku adalah orang yang dapat dipercaya untuk umatku, maka jika mereka telah pergi, maka akan datang apa yang dijanjikan kepada umatku” [HR Muslim 4596]
Imama Nawawi rahimahullah berkata : “Adapun makna “apa yang dijanjikan” yaitu munculnya bid’ah, perkara baru dalam urusan agama, dan munculnya fitnah” [Syarah Imam Muslim 16/83]

SATU KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM 
“Dahulu Bani Israil senantiasa dipimpin oleh para Nabi, setiap mati seorang Nabi diganti oleh Nabi lainnya dan sesudahku ini tidak ada lagi seorang Nabi dan akan terangkat beberapa khalifah bahkan akan bertambah banyak. Sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami? Beliau bersabda: ”Tepatilah bai’atmu pada (khalifah) yang pertama, maka untuk yang pertama dan berilah kepada mereka haknya, maka sesungguh nya Allah akan menanyakan apa yang digembalakannya.” (HR.Al-Bukhari dari Abu Hurairah, Shahih Al Bukhari dalam Kitab Bad’ul Khalqi: IV/206
Firman Allah Ta’ala :
Dan Dia lah yang menjadikan kamu para kholifah di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-An’am/6: 165)


  “Maka barangsiapa yang menjumpai itu (perpecahan umat) hendaknya dia berpegang kepada Sunnahku dan Sunnah para kholifah yang menunjukkan kepada kebaikan dan mendapat petunjuk, gigitlah Sunnah ini dengan gigi geraham” [HR Tirmidzi 2600 dan lainnya dishahihkan Al-Albani lihat Silsilah As-Shahihah 6/610]
Ijma’ Sahabat sangat menekankan pentingnya bersatu dalam satu kepemimpinan, hal ini nampak jelas  saat kejadian bahwa mereka menunda kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW dan mendahulukan pengangkatan seorang Khalifah pengganti beliau. Padahal menguburkan mayat secepatnya adalah suatu kewajiban dan diharamkan atas orang-orang yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah untuk melakukan kesibukan lain sebelum jenazah dikebumikan. Namun, para Sahabat yang wajib menyiapkan pemakaman jenazah Rasulullah SAW ternyata sebahagian di antaranya justeru lebih mendahulukan usaha-usaha untuk mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah Rasulullah. Sedangkan sebahagian Sahabat lain mendiamkan kesibukan mengangkat Khalifah tersebut, dan ikut pula bersama-sama menunda kewajiban menguburkan jenazah Nabi SAW sampai dua hari tiga malam, padahal mereka mampu mengingkari hal ini dan mampu mengebumikan jenazah Nabi secepatnya. Fakta ini menunjukkan adanya kesepakatan (ijma’) mereka untuk segera melaksanakan kewajiban mengangkat Khalifah daripada menguburkan jenazah. Hal itu tak mungkin terjadi kecuali jika status hukum mengangkat seorang Khalifah adalah lebih wajib daripada menguburkan jenazah.

Allohu’alam

Selasa, 23 Februari 2016

PERTEMUAN KELUARGA DI SYURGA

PERTEMUAN KELUARGA DI SYURGA

Keluarga muslim merupakan inti dan basis dari Khilafatul Muslimin (Al Jamaah), kuatnya Al-jamaah tidak lepas dari kuatnya ikatan aqidah dalam keluarga. Keluarga muslim adalah keluarga yang mendasarkan seluruh aktivitasnya sesuai dengan syareat islam, dengan demikian keluarga akan terpagari oleh kehormatan, kesucian, kharisma dan perhatian masyarakat sekelilingnya.

Dalam masyarakat yang menergakkan syareat islam tidak akan terdengar anak yang lahir diluar jalur hukum islam seperti yang banyak terjadi dimasyarakat sekuler saat ini, Melalui syareat Islam setiap keluarga muslim akan terjaga dari perpecahan dan kesia-siaan, kaum wanitanya akan terhindar dari kerendahan moral, anak-anak memiliki garis keterikatan dengan nasab yang mulia dan keluarga yang bersih hingga berlanjut pada kehidupan akherat nanti.
Firman Allah Ta’ala :

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِين

Orang-oranng yang beriman, dan anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. At-Thur: 21)

Ayat ini berbicara tentang orang beriman yang ditinggal mati anaknya yang belum menginjak usia baligh (Al Wildan). Mereka tidak memiliki amal, selain iman. Agar lebih menyenangkan hati ayah dan ibunya, Allah mengangkat derajatnya, sehingga bisa berjumpa dengan orang tuanya.

Namun mayoritas ahli tafsir berpendapat bahwa Allah Ta’ala memberikan kenikmatan yang lebih kepada orang mukmin, penduduk surga yang menduduki derajat yang tinggi di surga, dimana Allah kumpulkan keturunannya yang derajatnya di bawah mereka bersama orang tuanya. Sehingga Allah mengangkat derajat penduduk surga yang kedudukannya lebih rendah menuju derajat yang lebih tinggi. Agar lebih menyenangkan hati orang tuanya, sementara kedudukannya sama sekali tidak dikurangi.

Oleh karena itu, jika ada orang tua masuk surga bersama anaknya, dan derajat orang tua lebih tinggi dari pada derajat anaknya, maka Allah akan mengangkat derajat anaknya sampai sederajat dengan ayahnya, agar sang ayah merasa lebih senang dengan berkumpulnya dengan anak-anaknya. Tanpa mengurangi derajat sang ayah sedikit pun.

Demikian pula sebaliknya, ketika derajat anak lebih tinggi daripada ayahnya, maka derajat ayah akan dinaikkan, sehingga bisa berjumpa dengan anaknya.
Allah SWT menceritakan diantara doa malaikat pemikul ‘Arsy,

ربنا وأدخلهم جنات عدن التي وعدتهم ومَن صلح مِن آبائهم وأزواجهم وذرياتهم إنك أنت العزيز الحكيم

“Ya Rabb kami masukanlah mereka ke dalam surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang shalih diantara nenek moyang mereka, istri-istri dan anak keturunan mereka. Sungguh Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ghafir: 8)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan,
“Allah Ta’ala akan mengumpulkan mereka berserta anak keturunannya agar menyejukkan pandangan mereka karena berkumpul pada satu kedudukan yang berdekatan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, yang artinya,
“Dan orang-orang beriman, berserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan. Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga) dan kami tidak mengurangi sedikitpun pahala amal (kebajikan) mereka.”

Artinya, akan Kami samakan mereka pada satu kedudukan agar mereka (orang yg berkedudukan lebih tinggi-pen) merasa tenang. Bukan dengan mengurangi kedudukan  mereka yang lebih tinggi, sehingga bisa setara dengan mereka yang rendah kedudukannya, namun dengan kami angkat derajat orang yang amalnya kurang, sehingga kami samakan dia dengan derajat orang yang banyak amalnya. Sebagai bentuk karunia dan kenikmatan yang kami berikan.

Said bin Jubair mengatakan, “Tatkala seorang mukmin memasuki surga maka ia akan menanyakan tentang bapaknya, anak-anaknya dan saudara-saudaranya dimanakah mereka? Maka dikatakan kepadanya bahwa mereka semua tidak sampai pada derajatmu di surga. Maka orang mukmin tersebut menjawab

‘Sesungguhnya pahala amal kebaikanku ini untukku dan untuk mereka.’ Maka mereka (keluarganya) dipertemukan pada satu kedudukan dengannya.” (Tafsir Ibn Katsir, 4/73).
Firman Allah Ta’ala :
tûïÏ%©!$#ur (#rçŽy9|¹ uä!$tóÏGö/$# Ïmô_ur öNÍkÍh5u (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qà)xÿRr&ur $£JÏB öNßg»uZø%yu #uŽÅ  ZpuÏRŸxtãur šcrâäuôtƒur ÏpoY|¡ptø:$$Î/ spy¥ÍhŠ¡¡9$# y7Í´¯»s9'ré& öNçlm; Ót<ø)ãã Í#¤$!$# ÇËËÈ   àM»¨Zy_ 5bôtã $pktXqè=äzôtƒ `tBur yxn=|¹ ô`ÏB öNÍkɲ!$t/#uä öNÎgÅ_ºurør&ur öNÍkÉJ»­ƒÍhèŒur ( èps3Í´¯»n=yJø9$#ur tbqè=äzôtƒ NÍköŽn=tã `ÏiB Èe@ä. 5>$t/ ÇËÌÈ   íN»n=y /ä3øn=tæ $yJÎ/ ÷Län÷Žy9|¹ 4 zN÷èÏYsù Ót<ø)ãã Í#¤$!$# ÇËÍÈ  
Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang Itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), (yaitu) syurga 'Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan): "Salamun 'alaikum bima shabartum". Maka Alangkah baiknya tempat kesudahan itu. QS Ar-Ra'd [13]: 22-24

Sayyid Quthb dalam "Tafsir Fi Zhilalil-Qur'an" menjelaskan peristiwa di atas  laksana  sebuah festival atau reuni dimana mereka saling bertemu, mengucapkan salam, dan melakukan perbuatan-perbuatan yang menyenangkan dan menggembirakan serta penuh dengan penghormatan.

Sungguh kebahagiaan yang sempurna, pada saat kita diselamatkan oleh Allah dari kengerian hari kiamat, kemudian Allah masukkan ke dalam syurga nan indah. Tidak hanya itu, kita dipertemu -kan dengan istri kita dengan rupa yang indah, suami dengan wajah yang menawan, dengan anak yang menyejukkan pandangan. Hidup kita dihiasi dengan kenikmatan tanpa batas, yang tidak mungkin bisa diungkapkan dengan kata-kata, selain doa: Ya Allah… kumpulkanlah kami di surga-Mu bersama orang-orang yang kami cintai, dan lindungilah kami dari adzab neraka. Aamiin


Allohu’alam